Candi Mendut |
Written by Administrator |
CANDI Mendut bagi umat Budha mempunyai makna tersendiri. Keberadaan tiga buah arca Budha yang berukuran besar di candi ini memiliki keindahan yang sangat tinggi baik dalam bentuk fisik mau pun sebagai karya seni. Ketiga arca Budha yang berada di bilik candi ini dianggap masih memancarkan sinar kesucian. Sehingga di kalangan umat Budha candi ini menjadi tempat berdoa yang mujarab. Tidak saja umat Budha dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Seperti yang dilakukan, Ny. Shizuko Miyagawa, umat Budha sekte Nyoi Ken Shin Kei dari negeri Jepang, telah terkabul doa permohonannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipanjatkan di altar bilik candi Mendut ini. Doa itu adalah permohonan kesembuhan bagi anaknya semata wayang, Tsuyoshi Miyagawa, yang menderita sakit cukup berat dan tidak kunjung sembuh meski berbagai upaya penyembuhan telah dilakukan di negerinya sana. Ini terjadi pada tahun 1980-an. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas kesembuhan anaknya itu, Ny. Miyagawa kemudian membangun sebuah monumen ‘Persahabatan Indonesia – Jepang,’ yang kini masih tegak berdiri di halaman samping rumah Pak Kosim (almarhum), sebelah barat Candi Mendut. Monumen yang diresmikan pada bulan Pebruari 1985 ini, berupa sebuah prasasti tembaga dan pilar-pilar batu andesit Merapi yang bertuliskan huruf Jepang. Bangunan ‘tetenger’ dari Ny. Miyagawa itu dibuat oleh Dulkamid Djayaprana, pemahat dari Prumpung Muntilan. Arca-arca Budha yang berada di dalam bilik Candi Mendut ini adalah, Arca Dyani Budha Cakyamuni atau Vairocana, Arca Budha Avalokitesvara atau Lokesvara, dan Arca Bodhisatva Vajrapani. Arca Dyani Budha Cakyamuni menghadap ke barat (yang berada di tengah), duduk dengan posisi kedua kakinya menyiku ke bawah, menapak pada landasan berbentuk bunga teratai. Sikap tangan ‘dharmacakramudra’ yang bermakna sedang memutar ‘roda kehidupan’. Arca Bodhisatva Avalokitesvara berada di sebelah utara arca Dyani Budha Cakyamuni, menghadap ke selatan. Arca ini digambarkan dalam posisi duduk, kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan menjuntai ke bawah. Sikap tangannya, ‘varamudra’ yang bermakna sedang memberi atau menyampaikan ajaran. Pengarcaan Budhisatva Avalokitesvara ini mengenakan pakaian kebesaran dengan perhiasan-perhiasan di telinga, leher dan kelat bahu, serta memakai mahkota. Dan Arca Bodhisatva Vajrapani yang terletak di sebelah kiri arca Budha Sakyamuni menghadap ke utara, digambarkan dengan mengenakan pakaian kebesaran seperti arca Bodhisatva Avalokitesvara. Pengarcaannya dengan posisi duduk, kaki kanan dilipat dengan telapak kaki menyentuh paha, kaki kiri menjuntai ke bawah. Bangunan candi Mendut berdiri di atas ‘basement’ (dasar candi) setinggi 3,70 meter sehingga tampak anggun, kokoh dan berwibawa. Ukuran dasar candi 13,70 meter x 13,70 meter. Jumlah tataran naik candi ada 14 trap, menghadap ke barat laut. Arah hadap ini tidak lazim untuk candi-candi di Jawa Tengah. Karena pada umumnya candi-candi di Jawa Tengah menghadap ke timur. Di atas basement ada lorong yang mengelilingi badan candi selebar 2,48 meter. Bagian atap candi terdiri tiga tingkat dengan hiasan stupa-stupa kecil berjumlah 48 buah. Dari gambar rekonstruksi, di candi ini semula ada puncak candi. Namun sayang, bagian puncak candi yang indah itu sampai kini belum berhasil direkonstruksi. Batu batu bangunan dan ornamen candi yang belum bisa disusun kembali kini tertata rapi di pelataran candi sebelah utara. Kini tinggi bangunan candi ini 26,50 meter. Candi Mendut memang lain dengan candi-candi yang ada di Indonesia. Sebagai candi Budha, candi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak saja keberadaan arca Budha ukuran besar, candi ini juga dihiasi dengan relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera Jataka, yang sarat dengan makna ajaran-ajaran hukum ‘Sebab dan Akibat.’ Relief-relief itu terpahat di panel-panel luar sayap tangga bagian bawah. Relief di sebelah kanan menggambarkan ceritera, kura-kura yang dalam keadaan bahaya diselamatkan oleh dua ekor burung bangau. Ternyata burung bangau itu menipu kura-kura. Penyelamatannya, si kura-kura menggigit sebatang kayu dibawa terbang dua ekor burung bango itu untuk dibawa ke sebuah telaga. Karena si kura-kura ditipu, dia berani melawan burung itu dengan menggigit lehernya. Maka matilah burung-burung itu karena perbuatan jahatnya. Relief ceritera fabel (ceritera dengan tokoh hewan) lainnya di panel lain, mengisahkan tentang seekor kera yang ditolong dan diseberangkan seekor buaya. Si kera naik di punggung buaya. Sebenarnya si buaya ingin memakan hati kera. Di tengah sungai buaya berhenti, dan ingin merobek perut kera dengan giginya yang tajam. Namun dengan cerdiknya si kera mengatakan kepada buaya bahwa hatinya ditinggal di seberang sungai. Dan buaya bodoh itu percaya omongan kera, yang kemudian diperintah kera untuk terus membawanya sampai ke seberang sungai. Setibanya di seberang sungai, si kera meloncat menyelamatkan diri. Di relief lain menggambarkan ceritera, seekor gajah yang menjadi ganas ketika berada di tengah-tengah mereka yang sedang dihukum karena kejahatan. Tetapi gajah itu menjadi lembut dan jinak ketika berada di dekat para pertapa, para bhiku, yang suasananya tenang dan teduh. Dan masih banyak lagi relief ceritera fable dari kisah Jataka yang dipahatkan di candi ini. Karena candi ini dulu dibangun tidak hanya sebagai tempat pemujaan dan samadi, tetapi juga sebagai tempat untuk memperdalam ajaran-ajaran Budha bagi umatnya. Di sebelah kanan pintu masuk ke bilik candi (sisi utara), ada sebuah relief Kuvera. Relief ini menggambarkan dewa Kuwera, Dewa Kekayaan. Penggambarannya, ada seorang lelaki yang yang duduk dikelilingi anak-anak. Di bawahnya ada kendi-kendi yang penuh dengan uang. Konon, Kuvera pada mulanya adalah raksasa bengis pemakan manusia. Tetapi setelah bertemu dengan sang Budha dan diberi ajaran moral dan budi pekerti luhur, dia bertobat dan berubah perangai menjadi pelindung anak-anak. Di sisi kiri (sisi selatan) pintu masuk ke bilik candi, terpahatkan relief Hariti yang duduk memangku anak. Di sekeliling Hariti ada banyak anak sedang bermain. Seperti Kuvera, awal mulanya Hariti juga raseksi pemakan manusia, dan setelah sadar dan bertobat berubah menjadi pelindung anak-anak setelah berjumpa dan diberi ajaran kebaikan oleh sang Budha. Bahkan Hariti juga dikenal sebagai Dewi Kesuburan. Candi yang berlokasi di Kelurahan Mendut kawasan Kota Mungkid ini kira-kira 3 kilometer di sebelah timur candi Borobudur. Sampai kini tidak diketahui dengan pasti, kapan candi ini dibangun. Drs. Soediman dalam buku panduan berbahasa Inggeris, ‘Chandi Mendut. Its relationship with Pawon and Borobudur’ menuliskan, dalam desertasi ahli purbakala Belanda, J.G. de Casparis menghubungkan candi ini dengan Raja dari wangsa Syailendra, Indra. Dalam prasasti Karangtengah yang berangka tahun 824 M pada masa pemerintahan Raja Samaratungga menyebutkan bahwa Raja Indra, ayahanda Raja Samaratungga, telah mendirikan bangunan suci bernama ‘Venuvana’, yang bermakna hutan bambu. Dan menurut Bhiku Sri Pannyavaro Mahathera dalam narasi di film video dokumenter “Permata yang terlupakan, candi-candi Budhis di Jawa” menyebutkan, nama asli candi ini adalah ‘Venuvana Mandira’, yang berarti istana di tengah hutan bambu. Ketika ditemukan kembali pada tahun 1834, candi ini tertutup tanah dan semak belukar. Seperti halnya Candi Borobudur, candi ini diperkirakan juga menjadi korban mahapralaya letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 1006 M. Sehingga rusak porak poranda tertimpa material vulkanis Merapi. Dan selama berabad-abad candi ini ‘tenggelam’ ditelan jaman, seiring dengan perpindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Upaya membersihkan dan menyusun kembali candi ini dilakukan pada masa penjajahan Belanda tahun 1897. Pada tahun 1901 sampai dengan 1904, Brandes tidak puas dengan hasil itu dan berupaya untuk merekonstruksi. Tetapi pekerjaan itu dihentikan sebelum selesai. Sehingga upaya untuk merekonstruksi candi ini diambil alih oleh Van Erp pada tahun 1908, bersamaan dengan upaya merekonstruksi Candi Borobudur. Dia berhasil merekonstruksi candi ini sampai pada tahap menyusun sebagian atap candi. Pada tahun 1925 beberapa stupa kecil hiasan atap candi berhasil dipasang kembali. Caesar Voute dalam bukunya ‘Borobudur and Its Meaning’ menyebutkan, Candi Mendut berada di ujung timur garis lurus imajiner dari barat ke timur sepanjang hampir tiga kilometer melintas sungai Progo dan Elo, yang menghubungkan tiga candi Borobudur – Pawon dan Mendut. Dari Candi Pawon, Candi Mendut berjarak 1.150 meter, dan jarak Candi Pawon dengan Candi Borobudur 1.750 meter. Banyak ahli purbakala membandingkan lokasi ini dengan lokasi Gangga dan Yamuna sungai-sungai suci di India. Kondisi geografis daerah ini, sungai-sungai yang dikelilingi pegunungan dan bukit merupakan tempat yang mirip dengan kondisi geografis di India sana. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan para raja masa itu dalam memilih tempat ini untuk mendirikan bangunan-bangunan suci yang terkait dengan agamanya, Budha. Bentuk pola dan profil antara Candi Mendut dan Candi Pawon hampir sama, hanya berbeda ukurannya. Demikian pula arsitektur dan hiasan ornamennya. Dan kedua candi ini dibangun sangat terkait dengan keberadaan Candi Borobudur, sebagai candi ‘tritunggal’ tempat-tempat ibadah umat Budha sejak masa kejayaan wangsa Syailendra dari Kerajaan Mataram Kuna sampai kini. Meskipun ketika ditemukan status candi ini sebagai ‘dead monument’ atau monumen mati. ***(Amat Sukandar) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar